Sebuah teori lahir dari keingintahuan akan suatu kejadian atau keadaan. Tidak mudah untuk mempercayai sebuah teori baru, apalagi jika teori tersebut lahir ditengah kondisi masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh para ilmuwan di awal-awal penemuan mereka.
Hal utama yang dihadapi untuk mengerti lebih jauh lagi tentang Tata Surya adalah bagaimana Tata Surya itu terbentuk, bagaimana objek-objek didalamnya bergerak dan berinteraksi serta gaya yang bekerja mengatur semua gerakan tersebut. Jauh sebelum Masehi, berbagai penelitian, pengamatan dan perhitungan telah dilakukan untuk mengetahui semua rahasia dibalik Tata Surya.
Pengamatan pertama kali dilakukan oleh bangsa China dan Asia Tengah, khususnya dalam pengaruhnya pada navigasi dan pertanian. Dari para pengamat Yunani ditemukan bahwa selain objek-objek yang terlihat tetap di langit, tampak juga objek-objek yang mengembara dan dinamakan planet. Orang-orang Yunani saat itu menyadari bahwa Matahari, Bumi, dan Planet merupakan bagian dari sistem yang berbeda. Awalnya mereka memperkirakan Bumi dan Matahari berbentuk pipih tapi Phytagoras (572-492 BC) menyatakan semua benda langit berbentuk bola (bundar).
Sampai dengan tahun 1960, perkembangan teori pembentukan Tata Surya bisa dibagi dalam dua kelompok besar yakni masa sebelum Newton dan masa sesudah Newton.
Permulaan Perhitungan Ilmiah
Perhitungan secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh Aristachrus dari Samos (310-230 BC). Ia mencoba menghitung sudut Bulan-Bumi-Matahari dan mencari perbandingan jarak dari Bumi-Matahari, dan Bumi-Bulan. Aristachrus juga merupakan orang pertama yang menyimpulkan Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan berbentuk lingkaran yang menjadi titik awal teori Heliosentrik. Jadi bisa kita lihat kalau teori heliosentrik bukan teori yang baru muncul di masa Copernicus. Namun jauh sebelum itu, Aristrachrus sudah meletakkan dasar bagi teori heliosentris tersebut.
Pada era Alexandria, Eratoshenes (276-195BC) dari Yunani berhasil menemukan cara mengukur besar Bumi, dengan mengukur panjang bayangan dari kolom Alexandria dan Syene. Ia menyimpulkan, perbedaan lintang keduanya merupakan 1/50 dari keseluruhan revolusi. Hasil perhitungannya memberi perbedaan sebesar 13% dari hasil yang ada saat ini.
Ptolemy dan Teori Geosentrik
Ptolemy (c 150AD) menyatakan bahwa semua objek bergerak relatif terhadap bumi. Dan teori ini dipercaya selama hampir 1400 tahun. Tapi teori geosentrik mempunyai kelemahan, yaitu Matahari dan Bulan bergerak dalam jejak lingkaran mengitari Bumi, sementara planet bergerak tidak teratur dalam serangkaian simpul ke arah timur. Untuk mengatasi masalah ini, Ptolemy mengajukan dua komponen gerak. Yang pertama, gerak dalam orbit lingkaran yang seragam dengan periode satu tahun pada titik yang disebut deferent. Gerak yang kedua disebut epycycle, gerak seragam dalam lintasan lingkaran dan berpusat pada deferent.
Teori heliosentrik dan gereja
Nicolaus Copernicus (1473-1543) merupakan orang pertama yang secara terang-terangan menyatakan bahwa Matahari merupakan pusat sistem Tata Surya, dan Bumi bergerak mengeliinginya dalam orbit lingkaran. Untuk masalah orbit, data yang didapat Copernicus memperlihatkan adanya indikasi penyimpangan kecepatan sudut orbit planet-planet. Namun ia mempertahankan bentuk orbit lingkaran dengan menyatakan bahwa orbitnya tidak kosentrik. Teori heliosentrik disampaikan Copernicus dalam publikasinya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium kepada Paus Pope III dan diterima oleh gereja.
Tapi dikemudian hari setelah kematian Copernicus pandangan gereja berubah ketika pada akhir abad ke-16 filsuf Italy, Giordano Bruno, menyatakan semua bintang mirip dengan Matahari dan masing-masing memiliki sistem planetnya yang dihuni oleh jenis manusia yang berbeda. Pandangan inilah yang menyebabkan ia dibakar dan teori Heliosentrik dianggap berbahaya karena bertentangan dengan pandangan gereja yang menganggap manusialah yang menjadi sentral di alam semesta.
Lahirnya Hukum Kepler
Walaupun Copernicus telah menerbitkan tulisannya tentang Teori Heliosentrik, tidak semua orang setuju dengannya. Salah satunya, Tycho Brahe (1546-1601) dari Denmark yang mendukung teori matahari dan bulan mengelilingi bumi sementara planet lainnya mengelilingi matahari. Tahun 1576, Brahe membangun sebuah observatorium di pulau Hven, di laut Baltic dan melakukan penelitian disana sampai kemudian ia pindah ke Prague pada tahun 1596.
Di Prague, Brahe menghabiskan sisa hidupnya menyelesaikan tabel gerak planet dengan bantuan asistennya Johannes Kepler (1571-1630). Setelah kematian Brahe, Kepler menelaah data yang ditinggalkan Brahe dan menemukan bahwa orbit planet tidak sirkular melainkan elliptik.
Kepler kemudian mengeluarkan tiga hukum gerak orbit yang dikenal sampai saat ini yaitu ;
1. Planet bergerak dalam orbit ellips mengelilingi matahari sebagai pusat sistem.
2. Radius vektor menyapu luas yang sama dalam interval waktu yang sama.
3. Kuadrat kala edar planet mengelilingi matahari sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata dari matahari.
Kepler menuliskan pekerjaannya dalam sejumlah buku, diantaranya adalah Epitome of The Copernican Astronomy dan segera menjadi bagian dari daftar Index Librorum Prohibitorum yang merupakan buku terlarang bagi umat Katolik. Dalam daftar ini juga terdapat publikasi Copernicus, De Revolutionibus Orbium Coelestium.
Awal mula dipakainya teleskop
Pada tahun 1608, teleskop dibuat oleh Galileo Galilei (1562-1642), .Galileo merupakan seorang professor matematika di Pisa yang tertarik dengan mekanika khususnya tentang gerak planet. Ia salah satu yang tertarik dengan publikasi Kepler dan yakin tentang teori heliosentrik. Dengan teleskopnya, Galileo berhasil menemukan satelit-satelit Galilean di Jupiter dan menjadi orang pertama yang melihat keberadaan cincin di Saturnus.
Salah satu pengamatan penting yang meyakinkannya mengenai teori heliosentrik adalah masalah fasa Venus. Berdasarkan teori geosentrik, Ptolemy menyatakan venus berada dekat dengan titik diantara matahari dan bumi sehingga pengamat dari bumi hanya bisa melihat venus saat mengalami fasa sabit.
Tapi berdasarkan teori heliosentrik dan didukung pengamatan Galileo, semua fasa Venus bisa terlihat bahkan ditemukan juga sudut piringan venus lebih besar saat fasa sabit dibanding saat purnama. Publikasi Galileo yang memuat pemikirannya tentang teori geosentrik vs heliosentrik, Dialogue of The Two Chief World System, menyebabkan dirinya dijadikan tahanan rumah dan dianggap sebagai penentang oleh gereja.
Dasar yang diletakkan Newton
Di tahun kematian Galileo, Izaac Newton (1642-1727) dilahirkan. Bisa dikatakan Newton memberi dasar bagi pekerjaannya dan orang-orang sebelum dirinya terutama mengenai asal mula Tata Surya. Ia menyusun Hukum Gerak Newton dan kontribusi terbesarnya bagi Astronomi adalah Hukum Gravitasi yang membuktikan bahwa gaya antara dua benda sebanding dengan massa masing-masing objek dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda. Hukum Gravitasi Newton memberi penjelasan fisis bagi Hukum Kepler yang ditemukan sebelumnya berdasarkan hasil pengamatan. Hasil pekerjaannya dipublikasikan dalam Principia yang ia tulis selama 15 tahun.
Teori Newton menjadi dasar bagi berbagai teori pembentukan Tata Surya yang lahir kemudian, sampai dengan tahun 1960 termasuk didalamnya teori monistik dan teori dualistik. Teori monistik menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari materi yang sama. Sedangkan teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.
Sumber : http://simplyvie.com
"I wOuLdn't caLL mySeLf iMpoRtanT,BuT I'm coNvinCeD ThaT WheN I wAsn'T BoRn,eVeryoNe WouLD LikE To KnoW wHy"
Monday, February 2, 2009
Teori Pembentukan Tata Surya Sesudah Newton
Kemunculan Newton dengan teori gravitasinya menjadi dasar yang kuat dalam menciptakan teori ilmiah pembentukan Tata Surya. Dalam artikel ini akan dibahas teori pembentukan Tata Surya yang lahir sesudah era Newton sampai akhir abad ke-19. Perkembangan teori pembentukan Tata Surya sampai dengan tahun 1960 terbagi dalam dua kelompok pemikiran yakni teori monistik yang menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari materi yang sama. Dan yang kedua teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.
Teori Komet Buffon
Tahun 1745, George comte de Buffon (1701-1788) dari Perancis mempostulatkan teori dualistik dan katastrofi yang menyatakan bahwa tabrakan komet dengan permukaan matahari menyebabkan materi matahari terlontar dan membentuk planet pada jarak yang berbeda. Kelemahannya Buffon tidak bisa menjelaskan asal komet. Ia hanya mengasumsikan bahwa komet jauh lebih masif dari kenyataannya.
Teori Nebula Laplace
Ada beberapa teori yang menginspirasi terbentuknya teori Laplace, dimulai dari filsuf Perancis, Renè Descartes (1596-1650) yang percaya bahwa angkasa terisi oleh “fluida alam semesta†dan planet terbentuk dalam pusaran air. Sayangnya teori ini tidak didukung dasar ilmiah.
Seratus tahun kemudian Immanuel Kant (1724-1804) menunjukkan adanya awan gas yang berkontraksi dibawah pengaruh gravitasi sehingga awan tersebut menjadi pipih. Ide ini didasarkan dari teori pusaran Descartes tapi fluidanya berubah menjadi gas. Setelah adanya teleskop, William Herschel (1738-1822) mengamati adanya nebula yang ia asumsikan sebagai kumpulan bintang yang gagal. Tahun 1791, ia melihat bintang tunggal yang dikelilingi halo yang terang. Hal inilah yang memberinya kesimpulan bahwa bintang terbentuk dari nebula dan halo merupakan sisa nebula.
Dari teori-teori ini Pierre Laplace (1749-1827) menyatakan adanya awan gas dan debu yang berputar pelan dan mengalami keruntuhan akibat gravitasi. Pada saat keruntuhan, momentum sudut dipertahankan melalui putaran yang dipercepat sehingga terjadi pemipihan. Selama kontraksi ada materi yang tertinggal kedalam bentuk piringan sementara pusat massa terus berkontraksi. Materi yang terlepas kedalam piringan akan membentuk sejumlah cincin dan materi di dalam cincin akan mengelompok akibat adanya gravitasi. Kondensasi juga terjadi di setiap cincin yang menyebabkan terbentuknya sistem planet. Materi di dalam awan yang runtuh dan memiliki massa dominan akan membentuk matahari.
Namun menurut Clerk Maxwell (1831-1879) letak permasalahan teori ini cincin hanya bisa stabil jika terdiri dari partikel-partikel padat bukannya gas. Menurut Maxwell cincin tidak bisa berkondensasi menjadi planet karena gaya inersianya akan memisahkan bagian dalam dan luar cincin. Seandainya proses pemisahan bisa terlewati, massa cincin masih jauh lebih masif dibanding massa planet yang terbentuk.
Permasalahan lain muncul dari distribusi momentum sudut dimana tidak ada mekanisme tertentu yang bisa menjelaskan bahwa keberadaan materi dalam jumlah kecil, yang membentuk planet, bisa memiliki semua momentum sudutnya. Seharusnya sebagian besar momentum sudut berada di pusat objek. Jika momentum sudut intrinsik dari materi luar bisa membentuk planet, maka kondensasi pusat tidak mungkin runtuh untuk membentuk bintang,
Penyempurnaan Teori Laplace
Tahun 1854, Edouard Roche (1820-1883) mengatakan bahwa awan yang diajukan Laplace dalam teorinya bisa memiliki kondensasi pusat yang tinggi sehingga sebagian besar massa berada dekat spin axis dan memiliki kaitan yang kecil dengan momentum angular. Tahun 1873, Roche menyempurnakan teori Laplace dengan analisis “Matahari ditambah atmosfer, yang memiliki kondensasi pusat yang tinggi. Model ini berada diluar rentang planet dan mengalami keruntuhan saat mendingin. Dalam model ini atmosfer berkorotasi terhadap matahari. Saat sistem mengalami keruntuhan kecepatan sudut bertambah untuk mempertahankan momentum sudut sementara jarak mengecil. Jika jarak mengecil lebih cepat dari radius efektif atmosfer, maka semua atmosfer diluar jarak akan membentuk cincin.
Keberatan dari James Jeans (1877-1946). Ia menunjukkan dengan distribusi nebula yang diberikan oleh Roche, materi luar akan menjadi renggang sehingga tidak dapat melawan gaya pasang surut terhadap pusat massanya dan kondensasi tidak akan terjadi. Jeans juga mennunjukkan bahwa untuk materi di dalam cincin yang mengalir dari nebula yang runtuh menuju kondensasi membutuhkan kerapatan yang lebih besar dari kerapatan sistem. Hal ini akan menghasilkan massa atmosfer dengan magnitudo mendekati magnitudo di pusat massa, sehingga bisa menyelesaikan permasalahan momentum sudut.
sumber : http://simplyvie.com
Teori Komet Buffon
Tahun 1745, George comte de Buffon (1701-1788) dari Perancis mempostulatkan teori dualistik dan katastrofi yang menyatakan bahwa tabrakan komet dengan permukaan matahari menyebabkan materi matahari terlontar dan membentuk planet pada jarak yang berbeda. Kelemahannya Buffon tidak bisa menjelaskan asal komet. Ia hanya mengasumsikan bahwa komet jauh lebih masif dari kenyataannya.
Teori Nebula Laplace
Ada beberapa teori yang menginspirasi terbentuknya teori Laplace, dimulai dari filsuf Perancis, Renè Descartes (1596-1650) yang percaya bahwa angkasa terisi oleh “fluida alam semesta†dan planet terbentuk dalam pusaran air. Sayangnya teori ini tidak didukung dasar ilmiah.
Seratus tahun kemudian Immanuel Kant (1724-1804) menunjukkan adanya awan gas yang berkontraksi dibawah pengaruh gravitasi sehingga awan tersebut menjadi pipih. Ide ini didasarkan dari teori pusaran Descartes tapi fluidanya berubah menjadi gas. Setelah adanya teleskop, William Herschel (1738-1822) mengamati adanya nebula yang ia asumsikan sebagai kumpulan bintang yang gagal. Tahun 1791, ia melihat bintang tunggal yang dikelilingi halo yang terang. Hal inilah yang memberinya kesimpulan bahwa bintang terbentuk dari nebula dan halo merupakan sisa nebula.
Dari teori-teori ini Pierre Laplace (1749-1827) menyatakan adanya awan gas dan debu yang berputar pelan dan mengalami keruntuhan akibat gravitasi. Pada saat keruntuhan, momentum sudut dipertahankan melalui putaran yang dipercepat sehingga terjadi pemipihan. Selama kontraksi ada materi yang tertinggal kedalam bentuk piringan sementara pusat massa terus berkontraksi. Materi yang terlepas kedalam piringan akan membentuk sejumlah cincin dan materi di dalam cincin akan mengelompok akibat adanya gravitasi. Kondensasi juga terjadi di setiap cincin yang menyebabkan terbentuknya sistem planet. Materi di dalam awan yang runtuh dan memiliki massa dominan akan membentuk matahari.
Namun menurut Clerk Maxwell (1831-1879) letak permasalahan teori ini cincin hanya bisa stabil jika terdiri dari partikel-partikel padat bukannya gas. Menurut Maxwell cincin tidak bisa berkondensasi menjadi planet karena gaya inersianya akan memisahkan bagian dalam dan luar cincin. Seandainya proses pemisahan bisa terlewati, massa cincin masih jauh lebih masif dibanding massa planet yang terbentuk.
Permasalahan lain muncul dari distribusi momentum sudut dimana tidak ada mekanisme tertentu yang bisa menjelaskan bahwa keberadaan materi dalam jumlah kecil, yang membentuk planet, bisa memiliki semua momentum sudutnya. Seharusnya sebagian besar momentum sudut berada di pusat objek. Jika momentum sudut intrinsik dari materi luar bisa membentuk planet, maka kondensasi pusat tidak mungkin runtuh untuk membentuk bintang,
Penyempurnaan Teori Laplace
Tahun 1854, Edouard Roche (1820-1883) mengatakan bahwa awan yang diajukan Laplace dalam teorinya bisa memiliki kondensasi pusat yang tinggi sehingga sebagian besar massa berada dekat spin axis dan memiliki kaitan yang kecil dengan momentum angular. Tahun 1873, Roche menyempurnakan teori Laplace dengan analisis “Matahari ditambah atmosfer, yang memiliki kondensasi pusat yang tinggi. Model ini berada diluar rentang planet dan mengalami keruntuhan saat mendingin. Dalam model ini atmosfer berkorotasi terhadap matahari. Saat sistem mengalami keruntuhan kecepatan sudut bertambah untuk mempertahankan momentum sudut sementara jarak mengecil. Jika jarak mengecil lebih cepat dari radius efektif atmosfer, maka semua atmosfer diluar jarak akan membentuk cincin.
Keberatan dari James Jeans (1877-1946). Ia menunjukkan dengan distribusi nebula yang diberikan oleh Roche, materi luar akan menjadi renggang sehingga tidak dapat melawan gaya pasang surut terhadap pusat massanya dan kondensasi tidak akan terjadi. Jeans juga mennunjukkan bahwa untuk materi di dalam cincin yang mengalir dari nebula yang runtuh menuju kondensasi membutuhkan kerapatan yang lebih besar dari kerapatan sistem. Hal ini akan menghasilkan massa atmosfer dengan magnitudo mendekati magnitudo di pusat massa, sehingga bisa menyelesaikan permasalahan momentum sudut.
sumber : http://simplyvie.com
Teori Pembentukan Tata Surya s.d 1960
Tahun 1944 hadir sebuah teori baru yang merupakan bentuk lain dari teori dualistik. Teori ini diajukan oleh Otto Schmidt (1892-1956), seorang peneliti Rusia, yang dalam pengamatannya melihat keberadaan awan yang dingin dan rapat di Galaksi, terungkap saat ada bintang yang lewat daerah tersebut cahayanya diblok oleh awan. Menurut Schmidt dari waktu ke waktu bintang akan melewati awan seperti ini, dan setelah lewat bintang akan diselubungi gas dan debu. Dari awan inilah planet akan terbentuk.
Ketika dua titik massa saling mendekati dan mengalami interaksi gravitasi namun tidak bertabrakan, keduanya akan berakhir pada jarak yang tidak tentu. Schmidt mengasumsikan dua titik massa itu untuk bintang dan awan dan ia mempostulatkan keberadaan objek ketiga disuatu tempat disekitar alur pertemuan bintang dan awan untuk menghilangkan sebagian energi dari sistem dua benda tersebut. yang menjadi masalah keberadaan benda ketiga justru membuat ide ini menjadi tidak mungkin.
Teori Pusaran von Weizsäker
Tahun 1944, Carl von Weizsäker (1912-) meninjau kembali model proto planet, dan memperkenalkan model baru dengan pola piringan yang mengalami turbulensi hingga terbentuk pusaran-pusaran kecil. Dalam sistem terdapat beberapa pusaran. Setiap pusaran berotasi searah jarum jam sementara keseluruhan sistem berotasi berlawanan jarum jam sehingga menyebabkan tiap elemen piringan bergerak mengitari pusat massa dalam orbit Keplerian. Akibatnya terjadi disipasi energi yang kecil karena pergerakan seluruh sistem. Tapi materi akan mengalami tabrakan pada kecepatan relatif yang tinggi pada batas vortices. Model von Weizsäker menyatakan, pada kondisi seperti ini akan terbentuk pusaran-pusaran kecil dan materi akan berinteraksi dengan kuat, membentuk kelompok dan mengalami kondensasi. Kondensasi terbentuk dalam cincin dan saat semua kondensasi di cincin telah berada dalam cincin, maka akan membentuk keluarga planet.
Tahun 1952, Jeffreys mengkritik bahwa turbulensi merupakan fenomena yang berhubungan dengan kondisi kekacauan dan tidak terjadi secara spontan hingga menghasilkan struktur yang diajukan oleh model von Weizsäker. Hasil yang biasanya didapat dari piringan yang mengalami turbulensi adalah rotasi sistem dan semua bagian didalamnya dalam orbit sirkular mengeliligi pusat massa. Sedangkan viskositas sistem akan membuat materi bergerak kedalam dan keluar (inwards dan outwards). Pada pola evolusi seperti ini, viskositas akan menyebabkan terjadinya kehilangan energi dan menyisakan sistem berenergi lemah. Sementara disisi lain model pusaran (vortices) von Weizsäker merupakan sistem berenergi tinggi yang tidak akan stabil sehingga tidak akan bisa membentuk apapun.
Sampai dengan tahun 1960, ada dua kelompok yang terbagi berdasarkan teori yang dianut. Yang pertama, teori monistik terdiri dari teori Laplace bersama dengan pendahulunya Descartes dan Kant serta model von Weizsäker. Yang kedua, teori dualistik yang dianut oleh Buffon, Chamberlin dan Moulton, Jeans, Jeffrey dan Schmidt. Setiap teori memiliki keberhasilan dalam memecahkan masalah yang ada namun masing-masing juga memiliki kelemahan.
Problema Distribusi Momentum Sudut
Teori-teori monistik tidak bisa memecahkan bagaimana nebula tunggal bisa berevolusi secara spontan dan menghasilkan momentum sudut dengan fraksi yang yang kecil dari materi. Salah satu yang mencoba memecahkan masalah ini adalah Roche dengan mempostulatkan nebula yang terkondensasi tinggi. Sementara pendekatan lain mempostulatkan piringan yang tidak terlalu terpusat namun memiliki kerapatan yang cukup sehingga memiliki fraksi massa nebula sekitar 10-50% massa matahari. Dan bagian terbesar piringan akan terlepas memebntuk planet.
Teori-teori dualistik, yang melibatkan interaksi dua bintang mencoba menghindari masalah spin matahari yang lambat dengan mengasumsikan matahari pada kondisi pre-existence. Sayangnya tidak ada mekanisme yang baik untuk memindahkan materi ke jarak tertentu dari Matahari atau dengan kata lain tidak bisa memberikan momentum sudut yang cukup. Belakangan, teori akresi bisa memecahkan masalah momentum sudut ini dengan mengajukan penangkapan materi dalam kondisi tersebar dan bisa menghasilkan momentum sudut yang pas untuk menjelaskan gerak planet saat penanangkapan.
Pembentukan Planet
Schmidt dan teori monistik lainnya memulai sebuah permulaan yang baik dengan menyatakan pembentukan planet berasal dari materi di piringan. Permasalahannya bagaimana mekanisme materi-materi itu terakumulasi sehingga membentuk planet. Teori yang diajukan adalah lewat kondensasi di piringan tersebut. Dan hasil kondensasi ini haruslah memenuhi kriteria massa Jeans, dan limit Roche.
sumber : http://simplyvie.com
Ketika dua titik massa saling mendekati dan mengalami interaksi gravitasi namun tidak bertabrakan, keduanya akan berakhir pada jarak yang tidak tentu. Schmidt mengasumsikan dua titik massa itu untuk bintang dan awan dan ia mempostulatkan keberadaan objek ketiga disuatu tempat disekitar alur pertemuan bintang dan awan untuk menghilangkan sebagian energi dari sistem dua benda tersebut. yang menjadi masalah keberadaan benda ketiga justru membuat ide ini menjadi tidak mungkin.
Teori Pusaran von Weizsäker
Tahun 1944, Carl von Weizsäker (1912-) meninjau kembali model proto planet, dan memperkenalkan model baru dengan pola piringan yang mengalami turbulensi hingga terbentuk pusaran-pusaran kecil. Dalam sistem terdapat beberapa pusaran. Setiap pusaran berotasi searah jarum jam sementara keseluruhan sistem berotasi berlawanan jarum jam sehingga menyebabkan tiap elemen piringan bergerak mengitari pusat massa dalam orbit Keplerian. Akibatnya terjadi disipasi energi yang kecil karena pergerakan seluruh sistem. Tapi materi akan mengalami tabrakan pada kecepatan relatif yang tinggi pada batas vortices. Model von Weizsäker menyatakan, pada kondisi seperti ini akan terbentuk pusaran-pusaran kecil dan materi akan berinteraksi dengan kuat, membentuk kelompok dan mengalami kondensasi. Kondensasi terbentuk dalam cincin dan saat semua kondensasi di cincin telah berada dalam cincin, maka akan membentuk keluarga planet.
Tahun 1952, Jeffreys mengkritik bahwa turbulensi merupakan fenomena yang berhubungan dengan kondisi kekacauan dan tidak terjadi secara spontan hingga menghasilkan struktur yang diajukan oleh model von Weizsäker. Hasil yang biasanya didapat dari piringan yang mengalami turbulensi adalah rotasi sistem dan semua bagian didalamnya dalam orbit sirkular mengeliligi pusat massa. Sedangkan viskositas sistem akan membuat materi bergerak kedalam dan keluar (inwards dan outwards). Pada pola evolusi seperti ini, viskositas akan menyebabkan terjadinya kehilangan energi dan menyisakan sistem berenergi lemah. Sementara disisi lain model pusaran (vortices) von Weizsäker merupakan sistem berenergi tinggi yang tidak akan stabil sehingga tidak akan bisa membentuk apapun.
Sampai dengan tahun 1960, ada dua kelompok yang terbagi berdasarkan teori yang dianut. Yang pertama, teori monistik terdiri dari teori Laplace bersama dengan pendahulunya Descartes dan Kant serta model von Weizsäker. Yang kedua, teori dualistik yang dianut oleh Buffon, Chamberlin dan Moulton, Jeans, Jeffrey dan Schmidt. Setiap teori memiliki keberhasilan dalam memecahkan masalah yang ada namun masing-masing juga memiliki kelemahan.
Problema Distribusi Momentum Sudut
Teori-teori monistik tidak bisa memecahkan bagaimana nebula tunggal bisa berevolusi secara spontan dan menghasilkan momentum sudut dengan fraksi yang yang kecil dari materi. Salah satu yang mencoba memecahkan masalah ini adalah Roche dengan mempostulatkan nebula yang terkondensasi tinggi. Sementara pendekatan lain mempostulatkan piringan yang tidak terlalu terpusat namun memiliki kerapatan yang cukup sehingga memiliki fraksi massa nebula sekitar 10-50% massa matahari. Dan bagian terbesar piringan akan terlepas memebntuk planet.
Teori-teori dualistik, yang melibatkan interaksi dua bintang mencoba menghindari masalah spin matahari yang lambat dengan mengasumsikan matahari pada kondisi pre-existence. Sayangnya tidak ada mekanisme yang baik untuk memindahkan materi ke jarak tertentu dari Matahari atau dengan kata lain tidak bisa memberikan momentum sudut yang cukup. Belakangan, teori akresi bisa memecahkan masalah momentum sudut ini dengan mengajukan penangkapan materi dalam kondisi tersebar dan bisa menghasilkan momentum sudut yang pas untuk menjelaskan gerak planet saat penanangkapan.
Pembentukan Planet
Schmidt dan teori monistik lainnya memulai sebuah permulaan yang baik dengan menyatakan pembentukan planet berasal dari materi di piringan. Permasalahannya bagaimana mekanisme materi-materi itu terakumulasi sehingga membentuk planet. Teori yang diajukan adalah lewat kondensasi di piringan tersebut. Dan hasil kondensasi ini haruslah memenuhi kriteria massa Jeans, dan limit Roche.
sumber : http://simplyvie.com
Subscribe to:
Posts (Atom)